Ketika ditanya “apakah anda memiliki ambisi semasa kuliah?” 77% mahasiswa menjawab “tidak” karena banyak dari mereka beranggapan ambisi adalah sebuah kata negatif yang dipersepsikan sebagai “ambisius” atau “obsesi berlebihan.” Padahal, salah satu kunci sukses penting masa kini adalah memiliki ambisi diri untuk menghadapi mega competition (globalisasi) dan kemajuan teknologi yang semakin modern.
Sangat jarang kita menemukan ambisi besar dalam diri para mahasiswa. Cara menjalani karier sebagai mahasiswa pada umumnya sama, yaitu semua mahasiswa berharap studinya bakal mengantarkan mereka menjadi orang sukses di masa depan. Akan tetapi, pada kenyataannya hanya sedikit jebolan kampus yang menjadi “orang-orang sukses”. Banyak dari mereka, setelah susah payah menjalani karier sebagai mahasiswa, tidak mampu menjalani karier sebagai manusia dewasa, dalam persaingan hidup yang semakin berat. Mengapa? Karena hanya sedikit yang benar-benar mau dan mampu mengaplikasikan pengetahuan tentang bagaimana mendayagunakan potensi diri menjadi pribadi sukses.
Potensi diri mesti dikembangkan dari dalam diri sendiri, oleh diri sendiri, terhadap diri sendiri. Hal ini tidak muncul dari kampus, tetapi dari diri Anda sendiri.
Dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 60 persen lulusan perguruan tinggi menganggur.
Fokus pendidikan tinggi perlu segera diubah dari akademis ke vokasi.
Lapangan kerja rata-rata hanya menyerap 37% lulusan perguruan tinggi.
Jumlah lulusan mahasiswa program diploma/sarjana lebih dari 300.000 orang per tahun. Sedangkan jumlah mahasiswa vokasi pada tahun 2006 hanya sebanyak 1.256.136 orang. Pendidikan vokasi justru kekurangan lulusan untuk disalurkan ke dunia kerja.
Sudah seharusnya pemerintah lebih memperhatikan pendidikan vokasi. Penyelenggaraan pendidikan vokasi butuh dana besar, terutama untuk praktikum mahasiswa agar terampil.
Perguruan tinggi perlu membekali mahasiswanya dengan soft skill terutama attitude serta keterampilan wirausaha. Kedua hal itu sangat berguna bagi mahasiswa setelah lulus.
Kalangan pekerja di negara kita masih didominasi lulusan SD. Kualitas kaum pekerja kita masih harus ditingkatkan dari segi pendidikan.
Bila semua mahasiswa ingin menjadi karyawan seusai studi kampus, siapa yang akan menyediakan lapangan kerja? Sedangkan persaingan para fresh graduate yang semakin ketat malah membuat gaji karyawan menjadi tidak kompetitif lagi.
Bagaimana cara anda menyiasati persaingan untuk mendapatkan pekerjaan? Para mahasiswa menjawab: “Belajar sebaik-baiknya agar lulus dengan nilai yang memuaskan.
Tentu saja mereka benar. Namun, yang membuat seseorang diterima dan memiliki jenjang karier yang bagus bukan semata-mata nilai-nilai akademik tersebut.
Tidak banyak mahasiswa yang berani mempersiapkan sukses bagi dirinya sendiri jauh-jauh hari. Mereka terjebak oleh perangkap nilai. Terlalu banyak doktrinasi bahwa lulusan kampus akan mendapatkan tempat kerja yang lebih baik.
Tindakan apapun yang Anda lakukan pasti akan mempengaruhi alam. Besar atau kecil, satu maupun serentetan.
Alam bereaksi spontan atas tindakan manusia, sementara manusia memiliki kesempatan untuk memikirkan apa reaksi yang akan diambilnya terhadap kejadian alam.
Di era hyper technology dan globalisasi, semakin sedikit lapangan kerja bagi mereka yang tidak memiliki kelebihan. Para akademikus mesti segera keluar dari kotak pemikiran masa lalu dan memikirkan kecakapan-kecakapan bar demi sukses masa depan.
Kebanyakan kampus menjadi puncak himalaya yang sangat indah bila dilihat dari jauh, tetaapi penuh hutan belukar di sepanjang pendakian dan badai salju di puncak yang membuat sedikit orang mampu mendaki sampai puncak.
Sekolah-sekolah tinggi yang berbiaya mahal itu juga lebih banyak menghasilkan lulusan-lulusan yang berkarier atau berkiprah tidak sejalan dengan bidang studinya. Sangat sedikit dari kita para lulusan kampus yang berkarier di tempat-tempat yang sesuai dengan apa yang kita pelajari di bangku kuliah.
Kampus telah bergeser fungsi menjadi tempat formalistik belajar, bukan tempat mempelajari kehidupan. Kampus menjadi tempat bagi antarmahasiswa yang mau mengikuti kompetisi nilai, bukan tempat untuk berkompetisi dengan dirinya sendiri.
Anda berada dalam mekanisme belajar demi selembar print-out IPK. Anda, saya, dan teman-teman berada dalam sistem nilai bahwa parameter sukses adalah nilai tinggi, dan parameter gagal adalah nilai rendah, DO atau lulus pas-pasan.
Nilai-nilai akademis lantas menjadi parameter kualitas kampus. Kampus yang menghasilkan lulusan terbanyak dengan nilai-nilai tinggi dipandang sebagai kampus hebat yang populer dan diminati. Kampus bersaing bagaikan perusahaan swasta yang berjuang demi memenangkan persaingan, bukan untuk menghasilkan lulusan yang mampu berkontribusi dalam kehidupan masyarakat luas.
Kampus-kampus masa kini adalah lembaga penyaji nilai-nilai akademik, bukan produsen processor sumber daya manusia dewasa yang berkualitas untuk kehidupan nyata. Kurikulum pendidikan tinggi belum disusun untuk menciptakan pribadi-pribadi mahasiswa yang utuh dengan pembentukan karakter dan konsep diri.
Kampus tidak berbuat banyak untuk mengupayakan pembentukan karakter yang dapat menumbuhkan sikap mental apresiatif. Maka tidak heran banyak fresh graduate berdaya juang rendah.
Rajin-rajinlah melihat dunia luar. Anda akan menyadari bahwa banyak kesenjangan antara realitas dan pelajaran di kampus. Anda akan menemukan begitu banyak orang sukses yang bukan semata-mata menjadi sukses karena prestasi nilai-nilai akademik.
Ada anggapan bahwa pembentukan karakter mental “diharapkan” terjadi secara alami dalam proses pembelajaran selama mengikuti studi. Harapannya selama mengikuti studi kita terlibat dalam interaksi sosial baik horizontal maupun vertikal. Harapan seperti itulah yang membuat sikap mental kita sangat tergantung oleh bentukan alami lingkungan semasa proses pendidikan.
Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga hasil ujian adalah dewa penentu kecerdasan akademis yang tentunya tidak menjadi indikator kesuksesan dalam kehidupan pascakampus.
Lingkungan menyajikan begitu banyak menu pilihan yang tampak lebih menarik daripada pilihan sempit yang disodorkan keluarga. Lingkungan itu bisa positif atau negatif, tergantung pada penafsiran dalam diri kita terhadap lingkungan-lingkungan mana yang sesuai atau tidak.
No comments:
Post a Comment